Film ini menciptakan sejarah di berbagai bidang saat ia dirilis di tahun 2003 lalu. Di sisi komersial angka pendapatan dari film ini mencapai 1.1 Milyar USD dari pelbagai belahan dunia, angka yang hanya kalah dari Titanic di masa itu. Tak hanya disanjung secara komersial film ini juga merebut 11 Piala Oscar dari 11 kategori di mana ia dinominasikan. Antisipasi orang akan film ini begitu tinggi setelah kesuksesan dari film pertama dan keduanya. Dengan begitu tingginya harapan orang, sanggupkah Peter Jackson memenuhi tantangan tersebut?
Setelah kekalahan tentaranya dan Saruman di tangan ras manusia di Helm’s Deep pada akhir kisah The Two Towers, Sauron sadar bahwa ia tak boleh lagi meremehkan manusia. Rohan boleh selamat untuk sekarang karena fokus Saruman kini tertuju pada musuh yang tepat di depannya: Kerajaan Gondor. Berbeda dengan Rohan yang memiliki Raja, Gondor tak memiliki Raja. Ayah dari Boromir dan Faramir, Denethor, memegang tampuk kekuasaan tetapi tak punya cukup wibawa untuk mengumpulkan seluruh laskar manusia di bawah panjinya. Tugas itu jatuh ke tangan Aragorn, keturunan dari Raja Isildur. Sanggupkah Aragorn mengambil kembali tahta yang memang telah dipersiapkan untuknya, mengumpulkan seluruh laskar manusia dari Gondor dan Rohan lantas bertempur untuk mempertahankan ibukota Gondor, Minas Tirith, dari pasukan Sauron?
Di sisi lain Frodo, Sam, dan Gollum berpetualang makin dalam ke wilayah Mordor. Masih sakit hati dengan ‘pengkhianatan’ dari Frodo, Gollum atau Smeagol menjadi sosok yang sangat jahat dan berkonspirasi untuk menghabisi Frodo dan Sam. Ia merencanakan untuk membawa kedua Hobbits ini kepadanya. Siapakah ‘dia’ yang sanggup membuat para Orc sekalipun gentar dan bahaya apa lagi yang mengancam perjalanan sang Ringbearer dan teman setianya?
The Lord of the Rings: The Return of the King melakukan hal yang sangat sedikit bisa dilakukan oleh trilogi-trilogi lain: menutup kisahnya dengan sangat epik dan memuaskan. Kerap kali penutup dari sebuah trilogi justru menjadi yang paling mengecewakan seperti The Godfather Part III, Spider-man III, dan banyak lagi. The Return of the King menabrak stigma ini dan menghasilkan sebuah karya yang sama bagusnya – bahkan kalau ditilik dari jumlah piala Oscar yang ia boyong – yang terbaik dari trilogi ini. Peter Jackson tak lagi repot memperkenalkan karakter ini dan itu karena semuanya sudah diset dengan baik dalam dua film sebelumnya. Apa yang tersisa dalam film ini adalah sebuah build-up menuju perang klimaks yang menentukan nasib dari Middle Earth.
Sebenarnya tak semua bagian dari film ini luput dari kesalahan logika tetapi itu rasanya tak semua bisa ditudingkan kepada Peter Jackson melainkan kepada naskah asli dari JRR Tolkien sendiri. Sekalipun saya sangat menyukai pertempuran di Minas Tirith (gila kamu Peter Jackson dua perang epik yang paling saya sukai semua dari saga trilogimu!) saya tak bisa tidak sedikit berpikir kenapa perang tersebut sangat minim strategi? Praktis yang dilakukan oleh Sauron hanya menabrakkan seluruh laskarnya yang dijawab oleh tentara-tentara Gondor dan Rohan. Hanya itu saja. Toh kendati begitu harus diakui pertempuran yang ‘simpel’ ini membuat penonton lebih mudah melihat sisi mana yang tengah bertempur dengan sisi yang mana.
Bagaimanapun juga sebagian kesalahan terletak di tangan Peter Jackson yang kesulitan mengadaptasi keseluruhan kisah ini. Ada beberapa aspek cerita seperti kenapa kaum Elf dan Dwarf tidak membantu manusia dalam perang pamungkas ini mengganjal di hati. Pun yang saya bingungkan adalah kenapa seiring menguatnya kekuatan Sauron sosok Arwen lantas melemah sementara ayahnya dan Legolas baik-baik saja? Hal-hal seperti ini tidak pernah dijelaskan oleh Peter Jackson – mungkin supaya para penonton tertarik untuk membaca novel-novel Tolkien usai rampung menonton filmnya.
Tapi lupakan segala kekurangan-kekurangan minor itu, film ini adalah sebuah mimpi menjadi kenyataan bagi penggemar karya fantasi manapun juga. Sulit menahan haru melihat bagaimana pasnya momen-momen saat Sam rela menggendong Frodo sebagai sahabat sejatinya atau bagaimana Aragorn memimpin perang penghabisan dan menggunakan kata-kata “For Frodo…” sebagai penyemangat. Dan mata siapa tak berkaca-kaca melihat para Hobbits, kaum yang selama ini dipandang sebagai underdog dan sebelah mata, justru diapresiasi karena berperan vital menyelamatkan Middle Earth?
So my verdict is… apa lagi yang perlu dikatakan mengenai film ini selain ia sempurna? Mulai dari performa tiap aktor di dalamnya, score Howard Shore yang semegah dan seepik dua film sebelumnya, sinematografi yang pas tanpa mengandalkan terlalu banyak close-up untuk penggambaran perang yang chaotic, film ini adalah masterpiece bagi generasi kita. Sesuatu yang akan dikenang sebagai film klasik lama – lama setelah kita semua tiada nanti. Harapan saya hanya The Hobbits akan menjadi sebuah trilogi yang bisa menandinginya. Saya percaya padamu, Peter Jackson.
Score: A